Peter becomes convinced that he can find a way to save Beverly, and he thinks that maybe the magical white horse (now his partner-in-crime) might be able to help. He joins the Penn family in their winter retreat up the Hudson River, and passes muster with Beverly's stern father (William Hurt). Meanwhile, Pearly Soames is on his trail, but through some dark magic is not allowed to leave the boroughs of New York. He goes to request a weekend pass, basically, from the "Judge" (Will Smith), a guy with earrings lounging in a bed in a subterranean dungeon. The scene that follows between the two of them, in which they suddenly turn into snarling, snapping demons, is incomprehensible.
Peter menjadi yakin dia bisa menemukan cara untuk menyelamatkan Beverly, dan dia berpikir mungkin kuda putih gaib (kini pengikutnya) mungkin bisa membantu. Dia ikut bersama keluarga Penn ke tempat peristirahatan musim dingin mereka di Sungai Hudson, dan disetujui oleh ayah Beverly yang keras (William Hurt). Sementara, Pearly Soames mengikuti, namun dengan sihir hitam tak diperbolehkan meninggalkan distrik New York. Dia pergi untuk meminta izin keluar akhir pekan, pada dasarnya, dari "Hakim" (Will Smith), seorang pria beranting yang bersantai di tempat tidur di penjara bawah tanah. Adegan yang mengikuti antara mereka berdua, yang di dalamnya mereka tiba-tiba berubah menjadi iblis buas yang tegang tak dapat dimengerti.
Normally, I oppose the trend of plaything-based moviemaking, especially when the results are as brain-numbingly awful as "Transformers", "G.I. Joe" and "Battleship". But if those uninspired efforts had featured not just Michelangelo the Teenage Mutant Ninja but also Michelangelo the ultimate Renaissance artist as they fight for the greater good of interlocking mankind, maybe they would have changed my mind, too.Besides, with so many animation powerhouses settling for easy-money sequels lately (we mean you, Pixar, DreamWorks, Universal and 20th Century Fox),
Biasanya, saya menentang tren membuat film berdasarkan mainan, terutama ketika hasilnya membodohi seperti "Transformers", "G.I. Joe" and "Battleship". Namun jika usaha tanpa inspirasi itu telah menampilkan bukan saja Michelangelo dari Teenage Mutant Ninja namun juga Michelangelo seniman terhebat abad Renaisans saat mereka berjuang untuk manfaat yang lebih besar untuk saling menghubungkan manusia, mungkin mereka akan mengubah pikiran saya juga.Lagipula, dengan begitu banyak animasi kuat menetap untuk sekuel yang mudah meraih uang belakangan ini ( yang kami maksud kalian, Pixar, DreamWorks, Universal dan 20th Century Fox),
it is exceedingly cool that a major-studio family film refuses to simply capitalize on merchandising spinoffs by offering an oppressive 100-minute commercial. Instead, "The Lego Movie" manages to be a smartly subversive satire about the drawbacks of conformity and following the rules while celebrating the power of imagination and individuality. It still might be a 100-minute commercial, but at least it's a highly entertaining and, most surprisingly, a thoughtful one with in-jokes that snap, crackle and zoom by at warp speed.
itu sangat keren bahwa studio besar film keluarga menolak hanya untuk memodali barang promosi acara turunan dengan menawarkan iklan 100 menit yang menindas.Sebaliknya, "The Lego Movie" berhasil menjadi sindiran cerdas subversif tentang kekurang sesuaian dan mengikuti aturan saat merayakan kekuatan imajinasi dan individualitas. Itu mungkin tetap iklan 100 menit, namun setidaknya itu sangat menghibur dan, yang paling mengejutkan, yang bijaksana dengan lelucon yang sederhana, hidup dan meningkat cepat dengan kecepatan warp.